sumber : kompas.com
JAKARTA, Sebelum tahun 1975, daerah kelahiran Timotius Hindom gersang. Pepohonan tidak tampak di lahan seluas tidak kurang dari 800 hektar. Namun, melalui usaha keras Timotius, Kampung Wurkendik Distrik Fakfak Barat, Papua Barat, itu menghijau kembali. Hal itulah yang membuat Timotius diganjar Anugerah Kalpataru 2009 untuk Kategori Perintis, penghargaan yang diberikan bagi para pejuang lingkungan.
”Saya sendiri punya 50 hektar lahan kritis,” kata Timotius. Menurutnya, terciptanya lahan kritis karena kesalahan orangtua. Mereka ini belum berpikir soal pelestarian alam. Yang mereka lakukan hanya menebang pohon, atau sekalipun menanam, itu hanya tanaman jangka pendek.
Untuk itulah, suami dari Maria Homba Homba ini bertekad mengembalikan fungsi hutan sekalipun umurnya baru 15 tahun. Kala itu, Timotius yang ditinggal mati ayahnya sejak umur 3 tahun hanya mampu mengenyam 3 bulan pendidikan SMP di SMP YPK Kabupaten Fakfak. Ibunya tidak mampu membiayainya sekolah. “Sekalipun demikian, saya bisa bangga karena yang berpikir soal lingkungan hidup, di lingkungan saya, baru saya sendiri,” ungkap Timotius, kelahiran 30 Oktober 1960.
Putus sekolah membuatnya berserah total pada alam. Awalnya, di tahun 1975 saat usianya baru 15 tahun ia menanam pohon cengkeh di atas lahan gersangnya. “Saya diberi pemerintah 10 bibit pohon cengkeh. Tapi saya tambah dengan membeli 190 pohon yang sama,” kata anak kedua dari tiga bersaudara ini. Waktu itu, tambah Timotius, harga cengkeh mencapai Rp 3.000 per bibit.
Tidak cukup dengan itu, sejak tahun 1980 sampai sekarang, lahan kritis 50 hektar miliknya ditanami pala dan berbagai jenis buah-buahan, seperti durian, cokelat, rambutan, mangga, dan manggis. “Tiap tahun sekurang-kurangnya 1.000 bibit pohon disiapkan dan saya tanam. Saya
mbibit sendiri,” ungkap anak dari pasangan (alm) Habel Hindom dan Asia Hiba.
Dengan menanam pohon-pohon yang dapat memberi nilai ekonomi itu, Timotius ingin menyadarkan masyarakat untuk mulai berpikir bahwa pohon memberi manfaat bagi kita. “Melalui pendekatan dari mulut ke mulut, setidaknya sudah ada 20 KK yang merespons hal ini,” kata ayah beranak 6 ini. 20 KK inilah yang akhirnya secara bersama-sama menghijaukan kembali lahan kritis seluas 800 hektar.
Kepada mereka, Timotius mengingatkan kalau lahan tidak ditanami lagi, maka yang akan menjadi korban adalah anak dan cucu mereka sendiri. “Anak dan cucu susah karena lahan rusak. Kita sudah merasakan kesusahan itu ketika orangtua kita tidak menjaga hutan,” demikian kata-kata Timotius kepada warga di sekitar tempat tinggalnya.
Maka tidak heran jika Timotius saat menerima Kalpataru (5/6) menyerukan pentingnya menanam pohon. “Saya mengajak seluruh bangsa Indonesia untuk menanam pohon demi generasi penerus kita,” ungkapnya dengan tegas.
Apa yang dikatakannya itu tidak sekadar hisapan jempol belaka. Terbukti, walau sudah menerima kalpataru, ia berjanji akan melanjutkan menanam pohon sepulang dari Jakarta. “Kali ini saya akan fokus ke penanaman mangrove (bakau),” katanya.
Menurutnya, kondisi bakau di daerahnya mulai butuh perhatian. “Saya harus jaga juga untuk mencegah abrasi dan menjaga habitat ikan,” katanya memberi alasan.
Melihat totalitas dan kegigihannya dalam memperjuangkan lingkungan hidup, Anugerah Kalpataru memang layak disematkan kepadanya. Beberapa instansi memberinya apresiasi. Selain mendapat plakat dan penghargaan, Timotius juga mendapatkan uang sebesar Rp 8 juta dari Departemen Lingkungan Hidup, Rp 5 juta dari Departemen Kehutanan, dan Rp 10 juta dari Pemda. “Sebagaian besar uang ini untuk membiayai sekolah anak-anak saya. Saya hanya lulus SD. Anak-anak saya harus jauh lebih baik dari saya,” ungkap Timotius.